Dalam dunia manajemen SDM, memahami perilaku karyawan sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Dua fenomena yang sedang ramai diperbincangkan dalam dunia kerja saat ini adalah resenteeism dan quiet quitting.
Keduanya terlihat serupa—sama-sama menunjukkan penurunan keterlibatan kerja—namun memiliki perbedaan mendasar dari sisi motivasi, ekspresi, hingga dampaknya terhadap organisasi.
Jika Anda ingin memahami dan mengelola tantangan seperti ini di lingkungan kerja Anda, layanan konsultasi dari Klique siap membantu Anda dengan solusi HR yang berbasis data dan empati. Berikut penjelasan lengkapnya:
Apa Itu Resenteeism dan Quiet Quitting?
Resenteeism adalah kondisi ketika karyawan tetap hadir bekerja secara fisik, namun menyimpan rasa kecewa, frustrasi, atau tidak bahagia terhadap pekerjaannya. Mereka bertahan karena merasa tidak punya pilihan, bukan karena loyal. Sikap ini dapat memicu suasana kerja yang negatif secara perlahan.
Sebaliknya, quiet quitting adalah perilaku di mana karyawan hanya melakukan tugas sebatas deskripsi pekerjaan tanpa ingin memberikan usaha lebih. Mereka tidak keluar dari pekerjaan, tapi secara diam-diam mundur dari komitmen emosional terhadap perusahaan.
Perbedaan Utama: Emosi vs Strategi
Resenteeism lebih banyak dipicu oleh emosi negatif seperti kecewa, tidak dihargai, atau burnout. Karyawan tetap bertahan meski jelas tidak puas, sehingga lebih cenderung menular ke rekan kerja lain dalam bentuk keluhan atau sikap sinis.
Quiet quitting lebih bersifat strategis—karyawan memilih untuk menetapkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ini bisa menjadi bentuk perlawanan pasif terhadap ekspektasi berlebihan dari manajemen atau budaya hustle yang merugikan kesehatan mental.
Faktor Penyebab yang Berbeda
Penyebab resenteeism biasanya berasal dari kegagalan manajemen dalam memberikan pengakuan, kejelasan karier, atau lingkungan kerja yang suportif. Ketika aspirasi tidak terpenuhi, karyawan merasa stuck dan frustrasi.
Quiet quitting muncul karena karyawan ingin melindungi diri dari ekspektasi berlebihan dan kelelahan. Hal ini sering terjadi dalam organisasi dengan budaya kerja toksik atau kurang transparansi dalam manajemen SDM dan reward system.
Dampak pada Produktivitas dan Kolaborasi
Karyawan yang mengalami resenteeism bisa mempengaruhi atmosfer kerja karena menyebarkan energi negatif. Rekan kerja bisa ikut merasa tidak nyaman dan semangat tim menurun, terutama jika perilaku tersebut dibiarkan terus-menerus.
Quiet quitting berdampak pada stagnasi ide dan inovasi. Ketika banyak karyawan memilih untuk “cukup-cukup saja”, perusahaan kehilangan potensi berkembang karena tidak ada dorongan untuk melampaui ekspektasi dasar.
Tantangan bagi Tim HR dan Atasan
Fenomena ini menyulitkan tim manajemen SDM dalam mengidentifikasi masalah, karena secara kasat mata karyawan tetap datang dan menyelesaikan tugas. Namun kualitas kerja dan komitmen jangka panjang bisa jauh di bawah ekspektasi.
Untuk mengatasinya, HR perlu membangun budaya komunikasi terbuka, menyediakan ruang umpan balik dua arah, dan memonitor keterlibatan karyawan secara berkala. Tools pengukuran seperti survei kepuasan kerja sangat penting diterapkan secara rutin.
Strategi Pencegahan dan Penanganan yang Efektif
Pencegahan resenteeism dan quiet quitting harus dimulai dari kepemimpinan yang empatik dan sistem manajemen SDM yang adil. Perusahaan harus berani meninjau ulang beban kerja, sistem penghargaan, serta jalur karier karyawan.
Membangun budaya kerja yang menghargai keseimbangan hidup dan mendukung pertumbuhan personal sangat penting. Ini akan mencegah rasa kecewa yang berlarut-larut dan menjaga semangat kerja tetap tinggi.
Cegah Resenteeism dan Quiet Quitting bersama Klique
Apakah Anda mulai melihat tanda-tanda resenteeism atau quiet quitting dalam tim Anda? Jangan biarkan kondisi ini berkembang menjadi budaya negatif. Klique hadir sebagai mitra strategis dalam manajemen SDM, membantu Anda merancang sistem keterlibatan karyawan, pelatihan kepemimpinan, dan budaya kerja yang sehat.

