Memaksimalkan Produktivitas di Era Hybrid Working

Memaksimalkan Produktivitas di Era Hybrid Working

Munculnya model hybrid working yang menggabungkan pekerjaan jarak jauh dan tatap muka telah mendapatkan daya tarik yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Owl Labs, secara global, 16% dari total karyawan bekerja dari jarak jauh, sedangkan 62% memilih untuk bekerja secara hybrid. Beberapa data juga memprediksi bahwa 51% karyawan akan tetap mendukung model kerja hybrid di masa yang akan datang.

Benar, hybrid working akan tetap bertahan, dan perusahaan perlu menyelaraskan strategi mereka, khususnya terkait faktor yang mempengaruhi produktivitas orang-orang agar tetap produktif dengan model kerja semacam ini.

Definisi Baru Produktivitas di Era Hybrid Work

Definisi produktivitas yang diartikan secara tradisional seringkali berfokus pada hasil dan waktu yang dihabiskan untuk bekerja. Namun, untuk era hybrid working, cara pandang ini mungkin tidak cocok lagi untuk lingkungan kerja tersebut.

Berikut beberapa perubahan dari cara lama ke cara baru dalam mendefinisikan produktivitas di era kerja hybrid dapat dijelaskan dalam poin-poin berikut ini:

1. Fokus pada Dampak 

Definisi produktivitas tradisional seringkali menekankan kuantitas atau hasil, seperti jumlah tugas yang diselesaikan atau jam kerja. Dalam definisi baru, fokus tersebut bergeser pada cara pandang baru, yakni “dampak” atau “nilai” yang diciptakan. 

Orang-orang saat ini memandang bahwa produktivitas tidak semata-mata ditentukan oleh banyaknya hasil yang dikerjakan atau seberapa lama mereka melakukan pekerjaan, namun lebih pada kualitas dan nilai yang diberikannya, baik untuk organisasi maupun konsumen.

Mengapa perubahan ini muncul dan berkaitan dengan hybrid working? Hal ini karena model kerja hybrid memperkenalkan dinamika baru yang mempengaruhi cara kita memahami dan mengukur produktivitas

Dalam lingkungan kerja hybrid, dimana karyawan dapat bekerja dari jarak jauh dan secara tatap muka, fokus pada hasil dan dampak menjadi lebih relevan daripada kuantitas atau waktu yang dihabiskan seperti pada model kerja tradisional.

2. Penekanan pada Fleksibilitas

Cara lama untuk mengukur produktivitas seringkali mengandalkan metrik tetap dan ekspektasi yang kaku.

Misalnya, dalam lingkungan kerja tradisional, perusahaan mungkin menetapkan target jumlah tugas yang harus diselesaikan dalam sehari, misalnya 10 tugas. 

Dalam definisi baru, ada pergeseran ke arah menilai kemampuan beradaptasi dan fleksibilitas.

Prinsip ini mengacu pada pemahaman bahwa perusahaan memberikan kebebasan kepada karyawan untuk bekerja dari manapun mereka berada, selama mereka tetap dapat mencapai hasil yang diinginkan.

3. Outcome-driven Evaluation

Evaluasi Berbasis Hasil artinya menilai kinerja karyawan berdasarkan pencapaian hasil yang dihasilkan daripada faktor lain seperti jumlah jam kerja atau kehadiran fisik di tempat kerja.

Dalam evaluasi berbasis hasil, karyawan dinilai berdasarkan kontribusi mereka terhadap pencapaian tujuan perusahaan, hasil kerja yang dihasilkan, dan dampak yang mereka buat.

Pendekatan tradisional sering mengevaluasi produktivitas berdasarkan ukuran input seperti jam kerja atau waktu yang dihabiskan untuk tugas.

Definisi baru lebih menekankan pada evaluasi yang digerakkan oleh hasil. Ini berfokus pada hasil, pencapaian, dan nilai yang disampaikan daripada hanya mempertimbangkan masukan atau waktu yang diinvestasikan.

Mewujudkan Model Hybrid Working yang Efektif

Mengadaptasi hybrid working model adalah adalah hal yang penting dalam hal ini.

Untuk mewujudkan hybrid working yang efektif dengan pendekatan definisi baru tentang produktivitas dalam lingkungan kerja hybrid, ada beberapa langkah yang dapat kita diambil:

1. Memprioritaskan kesejahteraan karyawan

Hybrid working adalah pendekatan kerja yang menggabungkan kerja jarak jauh (remote work) dan kerja di kantor (on-site work) dalam suatu model yang seimbang.

Untuk itu, memprioritaskan employee well-being merupakan faktor penting dalam menciptakan hybrid working yang efektif. 

Berikan kebebasan kepada karyawan untuk mengatur jadwal kerja mereka dengan memperhatikan kebutuhan pribadi dan keluarga. Fleksibilitas ini memungkinkan mereka untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi yang sehat.

Untuk membuat ini berhasil, komunikasi yang baik antara manajer dan karyawan untuk menemukan model yang tepat merupakan kuncinya.

2. Bangun budaya kolaborasi

Pahami bahwa kolaborasi dan interaksi sosial adalah aspek penting dari bekerja hybrid. Dengan kendala jarak dan zona waktu yang berbeda, interaksi antar sesama tim dapat menjadi tantangan bagi mereka. 

Jadi, pastikan tim memiliki kesepakatan tentang bagaimana tim akan berkolaborasi dalam lingkungan hybrid.

Hal tersebut dapat mencakup jadwal pertemuan rutin, alat komunikasi yang digunakan, serta ekspektasi terkait respons dan tanggapan dalam menangani project yang sedang mereka kerjakan.

3. Dukung budaya inovasi

jika kolaborasi adalah tentang cara menyelesaikan pekerjaan, inovasi adalah tentang proses refocus dan refleksi untuk menciptakan solusi baru dan lebih baik.

Menciptakan budaya inovasi adalah tentang membuat tim dan karyawan menemukan solusi baru dan efektif untuk mengatasi tantangan yang muncul.

Untuk menciptakan lingkungan kerja yang inovatif, buat lingkungan yang mendorong pertukaran ide dan pemikiran kreatif. Adakan sesi brainstorming virtual, forum diskusi, atau ruang untuk berbagi gagasan secara rutin dan terjadwal.

Hal ini sangat penting karena tantangan seringkali muncul, dan tim harus sesegera mungkin mengatasi masalah tersebut.

 

Kita tidak dapat dengan pasti mengetahui seperti apa model kerja di masa depan. Namun, yang dapat kita lakukan adalah mengidentifikasi peluang yang ada dan memaksimalkannya, seperti yang terjadi dalam kasus hybrid working ini.

FacebookTwitterEmailLinkedIn

Recent